ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Beberapa Tahun yang Lalu Bolong Puasa, Tapi Belum Mengqadha', Bagaimana? |
Mengutip almanhaj.or.id, dijelaskan oleh Syaikh
Abdul Aziz bin Baaz, beberapa pertanyaan mengenai puasa Ramadhan ini.
Pertanyaan
Sekarang saya berumur lima puluh tahun, dua puluh
tujuh tahun yang lalu saya tidak berpuasa selama lima belas hari karena
melahirkan salah seorang anak saya, dan saya belum sempat mengqadha di tahun
tersebut, bolehkah saya mengqadha puasa itu saat ini, dan apakah saya berdosa.?
Jawaban
Hendaklah Anda bertobat kepada Allah karena
penundaan ini dan Anda harus mengqadha puasa yang lima belas hari itu dengan
disertai memberi makan kepada seorang fakir miskin sejumlah hari yang Anda
tinggalkan sebanyak setengah sha' yang berupa makanan pokok.
[Kitab Fatawa Ad-Da'wah, Syaikh Ibnu Baaz, 2/159]
Pertanyaan
Pada salah satu bulan Ramadhan beberapa tahun yang
lalu, saya mendapat haidh oleh karena saya tidak berpuasa dan sampai saya belum
mengqadha utang puasa itu, tapi saya tidak mengetahui berapa jumlah hari yang
harus saya qadha itu, apa yang harus saya lakukan ?
Jawaban
Anda harus melaksanakan tiga hal.
Pertama : Bertobat kepada Allah karena
keterlambatan itu dan menyesali apa yang telah Anda mengabaikan suatu ketetapan
Allah, di samping itu Anda harus bertekad untuk tidak mengulangi peruntukan itu
lagi, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Arti: Dan bertaubatlah kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung" [An-nur : 31]
Menunda-nunda qadha puasa ialah suatu maksiat,
maka bertaubatlah kepada Allah dari itu ialah suatu kewajiban.
Kedua: Segera mengqadha puasa berdasarkan perkiraan
Anda dalam menentukan jumlah harinya, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak
membebani seseorang kecuali apa yang disanggupinya. Berapa jumlah hari yang
telah Anda tinggalkan menurut dugaan Anda, maka sejumlah hari itulah yang harus
Anda qadha. Jika Anda perkirakan bahwa puasa yang harus Anda qadha itu sepuluh
hari, maka hendaklah Anda berpuasa sepuluh hari, dan jika Anda menduga bahwa
jumlah lebih banyak atau kurang dari itu, maka berpuasalah Anda berdasarkan
dari sepuluh hari makan berpuasalah Anda dengan berpatokan pada dugaan Anda
itu, berdasarkan firman Allah.
"Arti : Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuatu dengan kesanggupannya" [Al-Baqarah : 286]
Dan firman Allah.
"Arti : Maka bertaqwalah kamu kepada Allah
menurut kesanggupanmu" [At-Taghabun : 16]
Ketiga : Memberi makan kepada seorang miskin untuk
setiap hari yang Anda qadha itu, dan itu bisa diberikan seluruh kepada satu
orang miskin. Jika Anda sendiri seorang yang miskin sehingga tidak dapat
memberi makan, maka tidak mengapa Anda tidak melakukan yang ini tetapi tetap
bertaubat dan mengqadha puasa. Jika Anda mampu memberi makan, maka jumlah yang
harus diberikan ialah setengah sha' makanan pokok, yaitu sekitar satu setengah
kilogram.
[Majmu'ah Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, Syaikh
Ibnu Baaz, 6/19]
MEMPUNYAI
UTANG PUASA SELAMA DUA RATUS HARI KARENA KETIDAK TAHUANNYA DAN SEKARANG SEDANG
SAKIT
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Seorang wanita berusia lima puluh tahun tengah
menderita diabetes (penyakit gula), sementara puasa bagi ialah suatu hal yang
sangat memberatkan karena kondisi yang seperti itu. Kendati demikian ia tetap
berpuasa pada bulan Ramadhan, hanya saja ia tidak tahu bahwa hari-hari haidh di
bulan Ramadhan harus diqadha, dan jika dihitung masa haidh selama beberapa tahun
lalu itu, maka ia harus mengqadha puasa selama dua ratus hari, bagaimanakah
hukum yang dua ratus hari ini, sebab kini ia sedang sakit? Apakah Allah
mengampuni apa yang telah lalu itu, ataukah ia tetap harus berpuasa dan memberi
makan orang yang berpuasa? Apakah mesti memberi makan kepada orang yang
berpuasa, atau memberi makan kepada sembarang orang miskin ?
Jawaban
Jika keadaan seperti yang digambarkan oleh
penanya, yaitu puasa akan membahayakan diri kerena usia yang telah lanjut atau
karena penyakit yang dideritanya, maka ia harus memberi makan kepada seorang
miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan sebanyak hari tersebut. Begitu juga
dengan puasa-puasa yang akan datang jika berpuasa itu menyulitkan bagi dan
tidak ada harapan untuk keluar dari kesulitan itu, yaitu harus memberi makan
kepada seorang miskin untuk setiap hari yang ditiinggalkannya. [Durus wa Fatawa
Al-Haram Al-Makki, Ibnu Utsaimin, 3/54]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil
Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 1, penyusun Amin
bin Yahya Al-Wazan, terbitan Darul Haq, penerjemah Amir Hazmah Fakhruddin]
Baca juga :