ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Kenapa Ramadhan dan Idul Fitri Selalu Maju Tiap Tahun… Ternyata Ini Penjelasannya… |
Idul Fitri tahun ini jatuh pada bulan Juni, berbeda dengan tahun yang
lalu jatuh pada bulan Juli. Menurut kalender yang kita gunakan sehari-hari,
Hari Raya ini terlihat maju. Dan begitu setiap tahunnya. Kita sudah bisa
menebak, tahun depan akan jatuh pada bulan Juni 2018 namun minggu kedua, lebih
maju dari tahun ini.
Kenapa, bisa seperti itu?
Ramadhan setiap tahunnya tahun selalu berubah menurut kalender Masehi yang telah umum kita pakai sehari-hari. Kita mengenal setiap tahunnya kita lalui 365 kali pergantian hari (dan 366 hari jika tahun kabisat) yang terbagi ke dalam 12 bulan.
Dimulai dengan Januari, diakhiri dengan Desember. Diantaranya terdapat Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober dan November.
Nah adakah yang tahu kenapa jatuhnya Ramadhan dan Idul Fitri selalu terlihat maju menurut penanggalan Masehi?
Sebelumnya kita perlu mengenal tiga jenis kalender yang dipakai manusia.
Pertama, kalender solar (syamsiyah, berdasarkan matahari), yang waktu satu tahunnya adalah lamanya bumi mengelilingi matahari yaitu 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik atau 365,2422 hari.
Kedua, kalender lunar (qamariyah, berdasarkan bulan), yang waktu satu tahunnya adalah dua belas kali lamanya bulan mengelilingi bumi, yaitu 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik (29,5306 hari = 1 bulan) dikalikan dua belas, menjadi 354 hari 8 jam 48 menit 34 detik atau 354,3672 hari.
Dari perbandingan jumlah hari pada kalender syamsiyah dengan qomariyah tersebut tampaklah bahwa kalender qomariyah selisihnya kurang lebih 11 hari lebih cepat. Terkait selisih jumlah hari tersebut memang menarik untuk dikaji karena Allah SWT ikut memberikan petunjuk terang tentang selisih waktu tersebut.
Perhatikan kisah Ashhabul-kahfi (pemuda yang bersembunyi di gua) yang tersebut dalam Al Qur’an:
“Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (QS. Al Kahfi (18) :25 ).
Maksudnya tiap 100 tahun syamsiyah (matahari) sama dengan 103 tahun qamariyah. Alhasil, 300 tahun syamsiyah sama dengan 309 tahun qamariyah.
Ketiga, kalender lunisolar, yaitu kalender lunar yang disesuaikan dengan matahari. Oleh karena kalender lunar dalam setahun 11 hari lebih cepat dari kalender solar, maka kalender lunisolar memiliki bulan interkalasi (bulan tambahan, bulan ke-13) setiap tiga tahun, agar kembali sesuai dengan perjalanan matahari.
Dari keterangan diatas mungkin anda sudah bisa memahami, bahwa sebenarnya Ramadhan dan Idul Fitri jatuh pada tanggal yang sama setiap tahunnya pada penanggalan Qomariyah, letak perbedaanya adalah pada penanggalan yang digunakan.
Ramadhan setiap tahunnya tahun selalu berubah menurut kalender Masehi yang telah umum kita pakai sehari-hari. Kita mengenal setiap tahunnya kita lalui 365 kali pergantian hari (dan 366 hari jika tahun kabisat) yang terbagi ke dalam 12 bulan.
Dimulai dengan Januari, diakhiri dengan Desember. Diantaranya terdapat Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober dan November.
Nah adakah yang tahu kenapa jatuhnya Ramadhan dan Idul Fitri selalu terlihat maju menurut penanggalan Masehi?
Sebelumnya kita perlu mengenal tiga jenis kalender yang dipakai manusia.
Pertama, kalender solar (syamsiyah, berdasarkan matahari), yang waktu satu tahunnya adalah lamanya bumi mengelilingi matahari yaitu 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik atau 365,2422 hari.
Kedua, kalender lunar (qamariyah, berdasarkan bulan), yang waktu satu tahunnya adalah dua belas kali lamanya bulan mengelilingi bumi, yaitu 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik (29,5306 hari = 1 bulan) dikalikan dua belas, menjadi 354 hari 8 jam 48 menit 34 detik atau 354,3672 hari.
Dari perbandingan jumlah hari pada kalender syamsiyah dengan qomariyah tersebut tampaklah bahwa kalender qomariyah selisihnya kurang lebih 11 hari lebih cepat. Terkait selisih jumlah hari tersebut memang menarik untuk dikaji karena Allah SWT ikut memberikan petunjuk terang tentang selisih waktu tersebut.
Perhatikan kisah Ashhabul-kahfi (pemuda yang bersembunyi di gua) yang tersebut dalam Al Qur’an:
“Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (QS. Al Kahfi (18) :25 ).
Maksudnya tiap 100 tahun syamsiyah (matahari) sama dengan 103 tahun qamariyah. Alhasil, 300 tahun syamsiyah sama dengan 309 tahun qamariyah.
Ketiga, kalender lunisolar, yaitu kalender lunar yang disesuaikan dengan matahari. Oleh karena kalender lunar dalam setahun 11 hari lebih cepat dari kalender solar, maka kalender lunisolar memiliki bulan interkalasi (bulan tambahan, bulan ke-13) setiap tiga tahun, agar kembali sesuai dengan perjalanan matahari.
Dari keterangan diatas mungkin anda sudah bisa memahami, bahwa sebenarnya Ramadhan dan Idul Fitri jatuh pada tanggal yang sama setiap tahunnya pada penanggalan Qomariyah, letak perbedaanya adalah pada penanggalan yang digunakan.
Kenapa islam
menjatuhkan pilihan pada kalender qamariyah?
Jatuhnya pilihan Islam terhadap sistem qamariyah sebagai kalender formal
bukanlah semata karena kebetulan ia turun untuk pertama kalinya kepada
masyarakat pengguna kalender itu, tetapi sistem kalender qamariyah itu
-dibandingkan dengan syamsiyah- adalah lebih sejalan dengan karakter Islam
sendiri sebagai agama yang mudah, di samping kalender qomariyah itu lebih
sederhana dibandingkan kalender matahari.
Ternyata
berikut hikmahnya
Selain itu juga terdapat hikmah berkaitan dengan umurnya yang lebih
pendek sekitar 11 hari dibanding tahun syamsiyah atau matahari, yang dengan itu
penanggalan qomariyah beredar di
antara berbagai musim selama setahun.
Oleh karenanya pelaksanaan ibadah seperti puasa Ramadhan kadangkala jatuh pada musim dingin, lain kali di musim panas, saat lain lagi di musim semi dan musim gugur. Ia terkadang datang pada hari-hari yang dingin, kadang pada hari-hari yang panas, saat lain lagi di hari yang sejuk.
Hari-harinya pun terkadang panjang, terkadang pendek, di saat lain sedang. Kangkala juga bersamaan dengan momentum-momentum lain di setiap wilayah atau negara masing-masing. Dengan demikian kaum Muslimin di berbagai belahan dunia di sepanjang masa mendapatkan keadilan keadaan.
Ibadah dengan dinamika musim demikian akan terdapat banyak hikmah bagi kaum Muslimin itu sendiri.
Sebelum ditetapkan sebagai kalender Hijriah, masyarakat Arab dan umat Islam di masa Nabi Muhammad saw telah menggunakan sistem ini, tetapi belum dibakukan. Hal menarik adalah pada peristiwa Haji Wada’ pada bulan Dzulhijjah tahun 10 H atau haji perpisahan Nabi saw, beliau berpidato di hadapan seratus ribu lebih orang Muslim, di antara isi pidatonya adalah, “Sesungguhnya zaman itu berputar seperti bentuknya saat langit dan bumi diciptakan. Satu tahun ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan suci, tiga bulan berturut-turut, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, serta Rajab yang terletak antara dua Jumada dan Sya’ban..dst”.
Beliau pun menegaskan bahwa bulan itu (pada saat pidato) adalah bulan Dzulhijjah, dan hari itu adalah hari qurban. Seolah meneguhkan waktu-waktu tersebut jangan diubah dan diulur-ulur lagi sebagaimana perilaku terdahulu. Itulah sinyal dari Rasulullah saw akan pentingnya pembakuan kalender.
Kemudian pada masa Khalifah Umar bin Khattab, sistem penanggalan itu baru bisa dibakukan. Titik awal yang dipakai adalah masa hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah, bertepatan dengan 16 Juli tahun 622 Masehi. Karena itu, tahun kalender Islam disebut tahun Hijriah. Sebagai awal Tahun Hijrah dimulai dengan nama bulan Muharram, atas usul nama Utsman bin Affan.
Sistem penanggalan ini kemudian akan diberlakukan secara menyeluruh di semua wilayah kekuasaan Islam. Hal juga dilatarbelakangi oleh semakin besarnya wilayah kekuasaan Islam yang mulai muncul berbagai persoalan administrasi. Surat menyurat antar gubernur atau penguasa daerah dengan pusat ternyata belum rapi karena tidak adanya acuan penanggalan. Masing-masing daerah menandai urusan muamalah mereka dengan sistem kalender lokal yang seringkali berbeda antara satu tempat dengan lainnya.
Nama-nama bulan yang dipakai adalah nama-nama bulan yang memang berlaku di kalangan kaum Quraisy di masa kenabian, yaitu: Muharram, Shafar, Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqa’idah dan Dzulhijjah
Oleh karenanya pelaksanaan ibadah seperti puasa Ramadhan kadangkala jatuh pada musim dingin, lain kali di musim panas, saat lain lagi di musim semi dan musim gugur. Ia terkadang datang pada hari-hari yang dingin, kadang pada hari-hari yang panas, saat lain lagi di hari yang sejuk.
Hari-harinya pun terkadang panjang, terkadang pendek, di saat lain sedang. Kangkala juga bersamaan dengan momentum-momentum lain di setiap wilayah atau negara masing-masing. Dengan demikian kaum Muslimin di berbagai belahan dunia di sepanjang masa mendapatkan keadilan keadaan.
Ibadah dengan dinamika musim demikian akan terdapat banyak hikmah bagi kaum Muslimin itu sendiri.
Sebelum ditetapkan sebagai kalender Hijriah, masyarakat Arab dan umat Islam di masa Nabi Muhammad saw telah menggunakan sistem ini, tetapi belum dibakukan. Hal menarik adalah pada peristiwa Haji Wada’ pada bulan Dzulhijjah tahun 10 H atau haji perpisahan Nabi saw, beliau berpidato di hadapan seratus ribu lebih orang Muslim, di antara isi pidatonya adalah, “Sesungguhnya zaman itu berputar seperti bentuknya saat langit dan bumi diciptakan. Satu tahun ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan suci, tiga bulan berturut-turut, yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram, serta Rajab yang terletak antara dua Jumada dan Sya’ban..dst”.
Beliau pun menegaskan bahwa bulan itu (pada saat pidato) adalah bulan Dzulhijjah, dan hari itu adalah hari qurban. Seolah meneguhkan waktu-waktu tersebut jangan diubah dan diulur-ulur lagi sebagaimana perilaku terdahulu. Itulah sinyal dari Rasulullah saw akan pentingnya pembakuan kalender.
Kemudian pada masa Khalifah Umar bin Khattab, sistem penanggalan itu baru bisa dibakukan. Titik awal yang dipakai adalah masa hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah, bertepatan dengan 16 Juli tahun 622 Masehi. Karena itu, tahun kalender Islam disebut tahun Hijriah. Sebagai awal Tahun Hijrah dimulai dengan nama bulan Muharram, atas usul nama Utsman bin Affan.
Sistem penanggalan ini kemudian akan diberlakukan secara menyeluruh di semua wilayah kekuasaan Islam. Hal juga dilatarbelakangi oleh semakin besarnya wilayah kekuasaan Islam yang mulai muncul berbagai persoalan administrasi. Surat menyurat antar gubernur atau penguasa daerah dengan pusat ternyata belum rapi karena tidak adanya acuan penanggalan. Masing-masing daerah menandai urusan muamalah mereka dengan sistem kalender lokal yang seringkali berbeda antara satu tempat dengan lainnya.
Nama-nama bulan yang dipakai adalah nama-nama bulan yang memang berlaku di kalangan kaum Quraisy di masa kenabian, yaitu: Muharram, Shafar, Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqa’idah dan Dzulhijjah
Alasan saat
menentukan datangnya Ramadhan serta berakhirnya atau datangnya bulan Syawal,
harus melihat hilal
Karena penanggalan Hijriyah menggunakan kalender qomariyah menggunakan sistem perhitungan bulan (qamariyah), yang ditandai bulan sabit (hilal), senantiasa diterapkan dalam pengamalan ajaran Islam sebagai penentuan waktu bagi kaum Muslimin, misalnya zakat, haji, idah perempuan, puasa Ramadhan, dan sebagainya.
Baca Juga :