ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Bolehkah Meminjam Uang ke Bank Menurut Islam? |
Prinsip
pokok yang wajib kita tanamkan bersama, bertransaksi dengan bank dalam bentuk
meminjam uang untuk kebutuhan apapun, termasuk praktik riba. Karena bank tidak
mungkin mengucurkan dana selain CSR, tanpa embel-embel riba. Dengan demikian,
bank sejatinya bukan solusi bagi masalah keuangan masyarakat. Justru bank
adalah penyakit bagi masyarakat. Apapun nama dan labelnya. Baik konvensional
maupun syariah, sebagaimana pengakuan mereka yang pernah terjun di bank
syariah.
Bank
merupakan agen riba di masyarakat. Mereka jaya di atas penderitaan banyak
orang. Berita tentang orang yang bunuh diri karena terlilit utang bank,
dipukuli debt collector, rumah disita sehingga anak istri telantar, dst.
Peristiwa semacam ini bukan hal yang asing di tempat kita. Para pegawai bank
duduk manis di ruang ber-AC dengan gaji besar, hanya dengan memperhatikan
perhitungan angka di komputer, nyawa nasabah bisa menjadi taruhannya.
Lebih
dari itu, pinjam dana dari bank, sejatinya kita telah melanggar ancaman laknat
karena transaksi riba. Satu hadis yang sangat sering kita dengar, dari Ali bin
Abi Thalib r.a, beliau mengatakan:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَةً: آكِلَ الرِّبَا، وَمُوكِلَهُ، وَكَاتِبَهُ، وَشَاهِدَيْهِ
“Rasulullah
SAW melaknat 10 orang: pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksi transaksi
riba, dan orang mencatat transaksinya.” (HR. Ahmad 635).
Dalam
riwayat Baihaqi terdapat tambahan:
وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
Nabi Muhammad SAW menegaskan: “Mereka
semua sama.” (Baihaqi dalam As-Shugra, 1871).
Pemberi
makan riba pada hadis ini adalah para nasabah yang meminjang uang di bank, yang
mempersyaratkan adanya riba, sebagaimana keterangan di Aunul Ma’bud.
Pendek
kata, bagi orang yang sedang memiliki masalah keuangan, meminjam di bank sama
dengan menciptakan masalah baru baginya.
Lalu
bagaimana dengan orang yang butuh banyak uang? Bukankah pinjaman bank akan
sangat membantu?
Pertanyaan
inilah yang mungkin menjadi alasan terbesar bagi kebanyakan orang untuk tetap
gandrung dengan pinjaman bank. Namun sebenarnya, pertanyaan ini masih terlalu
global, sehingga perlu kita rinci untuk bisa memberikan jawaban yang berbeda.
Rincian itu sebenarnya merupakan turunan dari pertanyaan di atas:
Apa
latar belakang dia butuh banyak uang?
Dan
untuk tujuan apa dia butuh banyak uang?
Konsekuensi
bahwa Islam adalah agama sempurna, kita bisa mendapatkan jawaban yang benar
untuk semua masalah. Tak terkecuali masalah keuangan. Untuk menjawab pertanyaan
di atas, ada beberapa catatan yang bisa kita jadikan pengantar:
Pertama,
kita yakin hampir semua orang butuh harta, karena dia butuh untuk hidup. Di
lain pihak, tidak semua orang bisa mencari sendiri harta yang menjadi kebutuhan
pokok hidupnya. Dalam Islam, manusia yang tidak bisa mencari kebutuhan hidup
sendiri dikelompokkan menjadi dua:
a.
Orang yang menjadi tanggungan keluarganya yang lain, seperti anak menjadi
tanggungan orang tua, atau orang tua yang tidak mampu mencari nafkah menjadi
tanggungan anak lelaki, atau saudara yang tidak mampu bekerja karena cacat
fisik atau mental, menjadi tanggungan saudaranya yang lain, dst.
b.
Orang yang menjadi tanggungan kaum muslimin secara bersama atau negara, karena
mereka tidak lagi menjadi tanggungan anggota keluarganya yang lain. Merekalah
orang fakir, miskin, ibnu sabil, budak mukatab, jatuh pailit karena utang, dst.
Untuk menutupi kebutuhan pokok hidupnya, mereka berhak mendapatkan harta zakat.
Melihat
peta masyarakat muslim yang demikian, sejatinya dalam Islam tidak ada istilah
manusia terlantar karena masalah harta. Karena yang mampu wajib membayar zakat
dan yang kurang mampu, berhak menerima zakat. Sehingga kebutuhan pokok setiap
muslim pasti akan terjamin.
Kedua,
dalam Islam ada manusia yang diizinkan untuk meminta-minta. Sehingga andaipun
dia tidak tercover dengan harta zakat, dia masih bisa mendapatkan harta dari
sumber yang lain untuk menutupi kebutuhan pokoknya. Diantara kondisi tersebut
adalah:
a. Ketika seseorang menanggung beban diyat (denda) atau pelunasan hutang orang
lain, ia boleh meminta-minta sampai dia mampu melunasinya. Setelah lunas, dia
wajib untuk meninggalkan mengemis.
b.
Ketika seseorang ditimpa musibah yang menghabiskan seluruh hartanya, ia boleh
meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup.
c.
Ketika seseorang tertimpa kefakiran yang sangat berat, sehingga disaksikan oleh
3 orang berakal, pemuka masyarakatnya bahwa dia tertimpa kefakiran,
maka halal baginya meminta-minta sampai dia
mendapatkan kecukupan bagi kehidupannya.
Pada
tiga kondisi ini, seseorang diperbolehkan untuk meminta-minta sumbangan. Dalil
kesimpulan ini adalah hadis dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq r.a, bahwa
Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai Qabishah! Sesungguhnya
meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang:
Seseorang yang menanggung beban (hutang orang lain, diyat/denda), ia boleh
meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti. Dan seseorang yang
ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia
mendapatkan sandaran hidup. Dan seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga
ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa
kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup.
Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! adalah haram, dan
orang yang memakannya adalah memakan yang haram.” (HR. Muslim
no.1044, Abu Dawud no.1640, dll)
Ada satu lagi yang boleh meminta-minta, yaitu ketika seseorang
meminta sumbangan untuk kepentingan kaum muslimin, bukan kepentingan
pribadinya. Seperti untuk tujuan dakwah, pembangunan sarana keagamaan, dll.
Sebagaimana Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah
memotivasi para sahabat untuk berinfak dalam rangka jihad atau kepentingan
sosial lainnya.
Melihat
klasifikasi di atas, kita akan kesulitan mencari alasan lain untuk membolehkan
seseorang pinjam uang dari bank. Selain untuk tujuan yang bukan bagian dari
kebutuhan utama hidupnya, semacam modal usaha. Jika karena latar belakang modal
usaha, meminjam modal dari bank, hakikatnya adalah mengawali usaha dengan
transaksi riba. Bisa jadi itu akan menghilangkan keberkahan usahanya. Sebagai
solusi, dia bisa membuka investor untuk turut menanamkan modal pada sektor
usaha yang dijalani.
Kesimpulannya,
tidak ada alasan darurat untuk mencari pinjaman di bank. Karena dalam kondisi
darurat, kaum muslimin bisa terbantukan dengan adanya zakat dan sedekah. Untuk
urusan usaha dan bisnis, masih ada seribu alternatif yang halal, tanpa harus
melibatkan riba.
Baca juga :